BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Pembangunan
pertanian tanaman pangan di Indonesia merupakan simbol pembangunan pertanian nasional yang meliputi padi dan
palawija. Namun di lain pihak, pengembangan tanaman serealia lainnya selain
padi dan jagung sangat diharapkan untuk menunjang pengembangan diversifikasi
pangan sebagai bahan alternatif untuk memenuhi kebutuhan akan pangan non beras.
Masalah pangan di Indonesia juga tidak terlepas dari produksi atau penghasil
beras dan terigu, di samping bahan pangan lainnya seperti ubi kayu, jagung,
kacang tanah, dan sagu. Salah satu alternatif pemecahan masalah kelangkaan
bahan pangan, baik terigu maupun beras adalah melalui substitusi atau mengganti
dengan tanaman pangan (semusim) yang lain, seperti gandum, jewawut, sorghum,
dan wijen. Tanaman semusim utama (gandum, jewawut, sorghum, dan wijen) di
Indonesia sebenarnya sudah sejak lama dikenal tetapi pengembangannya tidak
sebaik padi dan jagung. Hal ini dikarenakan masih sedikitnya daerah yang
memanfaatkan tanaman semusim tersebut sebagai bahan pangan utama, terutama
dalam industri maupun konsumsi. Tanaman semusim tersebut mempunyai prospek yang
sangat baik untuk dikembangkan secara komersial di Indonesia karena didukung
oleh adanya kondisi agroekologis dan ketersediaan lahan yang cukup luas.
Indonesia memiliki sumber daya yang cukup untuk menjamin
ketahanan pangan bagi penduduknya. Indikator ketahanan pangan juga
menggambarkan kondisi yang cukup baik. Akan tetapi, masih banyak penduduk Indonesia
yang belum mendapatkan kebutuhan pangan yang mencukupi. Sekitar tiga puluh
persen rumah tangga mengatakan bahwa konsumsi penduduk Indonesia masih berada di bawah kebutuhan konsumsi yang
semestinya. Indonesia memproduksi sekitar 31 juta ton beras setiap tahunnya dan
mengkonsumsi sedikit di atas tingkat produksi tersebut, dimana impor umumnya kurang dari 7%
konsumsi. Lebih dari seperempat anak usia di bawah 5 tahun memiliki berat badan
di bawah
standar, dimana 8 % berada dalam kondisi sangat buruk. Bahkan sebelum krisis,
sekitar 42% anak di bawah umur 5 tahun mengalami gejala terhambatnya pertumbuhan
(kerdil), suatu indikator jangka panjang yang cukup baik
untuk mengukur kekurangan gizi yang dapat menghambat pertumbuhan anak secara normal.
Di Sulawesi Selatan khususnya, kondisi pertanian juga ikut terkena dampak dari kondisi
cuaca atau iklim yang tak menentu. Ini
disebabkan karena apabila tiba musim hujan maupun musim kemarau, maka susah
untuk diprediksi. Namun,
hingga saat ini kondisi cuaca buruk tersebut tidak sampai menganggu kapasitas
produksi. Kapasitas dan produksinya masih bagus, baik dari kualitas produksi maupun
kuantitas produksi.
Pengaruhnya kepada kualitas karena matahari kadang kurang. Kalau berhari-hari
gabah tidak dikeringkan bisa berubah warna dan menurunkan kualitas kejernihan.
Perubahan cuaca dan iklim yang tidak menentu menyebabkan musim hujan
berkepanjangan tidak menurunkan produksi salah satu lumbung pangan Sulawesi Selatan tersebut. Secara kuantitas secara nasional, kegagalan panen akibat
cuaca buruk hanya sekitar satu persen sehingga tidak berdampak luas terhadap produksi
beras. Pasokan pangan nasional meningkat 1,17 persen, sehingga tersedia pasokan
5,6 juta ton beras hingga akhir tahun. Bulog masih memiliki persediaan beras hingga 1,4
juta ton.
Diversifikasi Pangan sebagai alternatif solusi untuk
menangani permasalahan ketahanan maupun produktivitas pangan. Laju pertumbuhan produksi beras
dalam delapan tahun terakhir sudah lebih rendah dari periode sebelumnya. Sedangkan terobosan teknologi padi
akan sangat terbatas. Sistem komoditi beras sudah tidak dapat lagi diandalkan
sebagai sumber pertumbuhan. Selain itu, komoditi ini juga mempunyai kaitan
ke industri hilir yang kecil. Sumber pertumbuhan tanaman pangan hanya mungkin
melalui diversifikasi tanaman pangan, terutama tanaman semusim. Awal tahun 60-an mulai disadari
perlunya diversifikasi tanaman semusim. Adapun yang termasuk dalam kategori
tanaman semusim utama atau tanaman semusim pokok yang terkenal di Indonesia
antara lain gandum, jewawut, sorghum, dan wijen.
Pengembangan tanaman
gandum ditujukan untuk memantapkan daerah-daerah yang sudah biasa menanam
gandum, sedang daerah bukaan baru lebih difokuskan kepada sosialisasi dan
demplot-demplot agar petani yang ingin mengembangkan tanaman gandum dapat
belajar tentang budidaya gandum yang benar. Peningkatan areal tanam gandum ini
terus diupayakan melalui pemasyarakatan tanam gandum. Agar tercapainya
keberhasilan pengembangan gandum, maka waktu tanam yang tepat, kualitas benih
dan pemilihan lokasi seperti ketinggian tempat, suhu atau temperature, iklim
yang mendukung, topografi, maupun ketersediaan air dan tanah merupakan faktor
penting untuk mengembangkan pertumbuhan tanaman gandum. Masyarakat
prasejarah sudah mengenal sifat-sifat gandum dan tanaman biji-bijian lainnya
sebagai sumber makanan pokok maupun
bahan industri.
Pengembangan tanaman jewawut pertama kali dibudidayakan di antara berbagai jenis millet dan sekarang menjadi millet yang terluas penanamannya di
seluruh dunia dan yang terpenting di Asia Timur, terutama
di Negara China yang menunjukkan paling tidak tanaman jewawut telah dibudidayakan sekitar 6.000 tahun sebelum Masehi. Pada saat
itu, juwawut menjadi satu-satunya tanaman biji-bijian yang dibudidayakan dan
bermanfaat sebagai makanan pokok utama. Tanaman Jewawut di Indonesia, misalnya saja di
provinsi Sulawesi
Selatan dan
Sulawesi Barat. Di Sulawesi Selatan, tepatnya di Kabupaten Enrekang, tanaman jewawut yang paling banyak dibudidayakan adalah varietas
ketan hitam, emas, delima, dan rambutan. Sedangkan di Sulawesi Barat, tepatnya
di Kabupaten Polewali tanaman jewawut yang paling banyak dibudidayakan adalah minna, delima, emas, dan
rambutan.
Pengembangan
tanaman sorghum sangat potensial untuk diangkat menjadi komoditas agroindustri
karena mempunyai beberapa keunggulan seperti dapat tumbuh di lahan kering dan
sawah pada musim kering atau kemarau, resiko kegagalan kecil dan pembiayaan
(input) usaha taninya relatif rendah. Selain budidaya yang mudah, tanaman sorghum
juga mempunyai manfaat yang sangat luas antara lain untuk pakan ternak, bahan baku
industri makanan maupun minuman, bahan baku untuk media jamur merang, industri alkohol,
bahan baku etanol dan sebagainya. Walaupun sorghum ternyata cocok untuk ditanam
di Indonesia dan merupakan tanaman pokok, tetapi tidak termasuk dalam statistik
produsen sorghum di dunia karena kecilnya produksi dibandingkan dengan negara
penghasil utama sorghum. Di Indonesia, penelitian dan pengembangan sorghum
dilaksanakan oleh balai penelitian tanaman sorghum.
Pengembangan tanaman wijen dimanfaatkan sebagai sumber minyak nabati yang dikenal sebagai minyak wijen yang diperoleh dari
ekstraksi bijinya.
Negara Afrika diduga merupakan daerah
asal tumbuhnya tanaman wijen. Pembudidayaan tanaman
wijen memerlukan lingkungan atau syarat tumbuh dengan suhu yang cukup tinggi untuk tumbuh.
Tanaman ini cukup tahan terhadap kondisi kering, meskipun hasilnya akan turun
jika kurang mendapat pengairan. Untuk lahan kering di musim hujan yaitu wilayah yang
bercurah hujan pendek, wijen ditanam pada awal musim penghujan agar tanaman tidak
mengalami hambatan suhu tanah, ketersediaan air, dan jasad pengganggu. Nilai ekonomis komoditas wijen cukup baik dilihat dari kandungan gizi dengan kadar asam
lemak tidak jenuh yang tinggi dan kandungan mineral yang dimiliki. Kebutuhan pasar yang belum
tercukupi serta toleran pada lahan kering, maka tanaman ini cukup potensial untuk dikembangkan di lahan kering.
1.2 Tujuan
dan Kegunaan
Tujuan dari praktikum
budidaya tanaman semusim ini adalah untuk mengetahui perbandingan budidaya dari
tanaman pangan, baik dengan sistem guludan (olah tanah) dengan sistem tanpa
olah tanah pada tanaman jewawut, sorghum, wijen dan gandum. Selain itu, untuk
mengetahui jenis pangan lain yang bisa menggantikan atau mensubstitusi pangan
pokok yaitu padi dan jagung dengan sorghum, gandum, jewawut dan wijen.
Kegunaan dari praktikum ini
adalah memberikan pengetahuan terhadap mahasiswa tentang teknik atau cara
budidaya tanaman pangan atau tanaman semusim serta sebagai bahan informasi dan
referensi bagi tentang jenis pangan lain selain pangan yang umum dikonsumsi
seperti padi dan jagung.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Klasifikasi
(Taksonomi)
Tanaman
2.1.1. Jewawut (Setaria
italica)
Kingdom :
Plantae
Subkingdom : Tracheobionta (tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi : Spermatophyta (menghasilkan biji)
Divisi : Magnoliophyta (tumbuhan berbunga)
Kelas : Moncots
Sub Kelas : Commelinidae
Ordo : Poales
Famili : Poaceae (suku rumput-rumputan)
Up famili : Panicoideae
Genus : Setaria
Spesies : Setaria italica
Ordo : Poales
Famili : Poaceae (suku rumput-rumputan)
Up famili : Panicoideae
Genus : Setaria
Spesies : Setaria italica
2.1.2. Sorghum
(Sorghum bicolor L.)
Kingdom :Plantae/tumbuhan
Subkingdom :Tracheobionta (tumbuhan berpembuluh)
Subkingdom :Tracheobionta (tumbuhan berpembuluh)
Super
Divisi :Spermatophyta (menghasilkan biji)
Divisi :Magnoliophyta (tumbuhan berbunga)
Kelas :Liliopsida (berkeping satu/monokotil)
Genus :Sorghum
Spesies :Sorghum bicolor (L.)
Moench
2.1.3.
Gandum
(Triticum spp.)
Kingdom :
Plantae (tumbuhan)
Divisi
: Magnoliophyta
(tumbuhan berbunga)
Kelas : Liliopsida (berkeping
satu/monokotil)
Ordo
: Poales
Famili
: Poaceae
Genus
: Triticum
L.
Spesies : Triticum spp.
2.1.4. Wijen (Sesamum indicum L.)
Kingdom : Plantae (tumbuhan)
Sub kingdom : Tracheobionta (tumbuhan berpembuluh)
Super
divisi : Spermatophyta (menghasilkan biji)
Divisi : Magnoliophyta (tumbuhan berbunga)
Kelas :
Magnoliopsida (berkeping dua/dikotil)
Sub
Kelas : Asteridae
Ordo : Scrophulariales
Spesies : Sesamum indicum L.
2.2 Deskripsi
Tanaman
2.2.1. Jewawut
(Setaria
italica)
Jewawut
(Setaria italica) adalah sejenis serealia berbiji kecil/millet yang pernah menjadi
makanan pokok masyarakat Asia Timur
dan
Asia Tenggara sebelum
budidaya padi yang dikenal
orang. Tumbuhan ini adalah yang pertama kali dibudidayakan di antara berbagai
jenis millet
dan sekarang menjadi millet
yang terluas penanamannya di seluruh dunia dan yang terpenting di
Asia Timur. Menurut catatan
dari China yang menunjukkan paling
tidak jewawut telah
dibudidayakan sekitar 6.000
tahun sebelum Masehi. Pada saat itu, jewawut
menjadi satu-satunya tanaman biji-bijian
yang dibudidayakan di China (Asia
Timur). Dari China,
tanaman ini kemudian menyebar ke Barat hingga mencapai Eropa
pada sekitar
milenium kedua sebelum Masehi. Orang Romawi telah mengenal dan
membudidayakannya sehingga
dikenal pula sebagai “millet
Italia”. Di Sulawesi Selatan,
tepatnya di Enrekang jewawut yang banyak dibudidayakan adalah varietas ketan
hitam, emas, delima, dan rambutan
(Anonim, 2010).
Jewawut mempunyai
sistem akar khas Graminae. Biji menghasilkan satu akar seminal atau radikula
yang berkembang menjadi akar primer. Akar sekunder atau akar buku muncul pada
buku pertama ketika tanaman jewawut telah menghasilkan dua atau tiga helai daun.
Akar-akar buku menebal dan dianggap menyediakan sebagian besar saluran untuk
pengambilan air, ion, dan sebagai pendukung pertumbuhan tanaman (Goldsworthy
dan Fisher, 1984).
Batang tanaman jewawut
tegak, beruas-beruas, lampai, dan menyisip dari tunas terbawah. Daun jewawut
termasuk daun yang tidak lengkap karena hanya terdiri dari helaian daun saja.
Helaian daun ini berbentuk pita/melancip dengan tulang daun sejajar. Permukaan
daun kasar karena memiliki bulu halus dan rapat. Daun berseling dan sejajar,
tersusun dalam dua baris berhadapan atau searah. Jewawut memiliki bentuk malai
seperti bulir yang tersusun relatif rapat dan biji-bijinya yang masak bebas
dari lemma dan palea. Tanaman ini termasuk hermaprodit dimana buliran berbentuk
menjorong, bunga bawah steril sedangkan bunga atas hermaprodit. Biji bulat
telur lebar, melekat pada sekam kelopak dan sekam mahkota, berwarna kuning
pucat hingga jingga, merah, coklat atau hitam. Biji jewawut masuk dalam jenis
padi-padian kecil termasuk biji kariopsis yang memiliki ukuran yang sangat
kecil sekitar 3–4 mm, yang biasanya memiliki warna krem, merah kecoklatan,
kuning dan hitam. Biji jewawut terdiri dari perikarp, endosperma dan embrio.
Biji bulat telur, melekat pada sekam kelopak dan sekam mahkota, berwarna kuning
pucat hingga jingga, merah, coklat atau hitam (Leonard dan Martin, 1988).
Jewawut merupakan
tanaman monokotil yang memiliki tipe perkecambahan hypogeal. Dimana terjadi
pemanjangan epikotil sehingga plumula menembus kulit biji dan muncul di atas
permukaan tanah, sedangkan kotiledon tetap berada di dalam tanah. Penyerbukan
yang dilakukan ialah penyerbukan sendiri. Namun, dapat juga dibantu oleh
angin. Bunga jantan dan betina terdapat dalam satu tanaman sehingga proses
penyerbukannya tergolong penyerbukan sendiri.
Adapun
varietas atau spesies dari tanaman jewawut antara lain Pearl millet/jewawut mutiara (Pennisetum
glaucum), Foxtail millet/jewawut
ekor kucing (Setaria italica), Proso millet (Panicum
miliaceum), Finger millet atau Eleusine
coracana (Haruna, 2011).
Jewawut dapat ditanam
di daerah semi kering dengan curah hujan kurang dari 125 mm selama masa
pertumbuhan yang pada umumnya sekitar 3-4 bulan. Tanaman ini tidak tahan
terhadap genangan dan rentan terhadap periode musim kering yang lama. Di daerah
tropis, tanaman ini dapat tumbuh pada daerah semi kering sampai ketinggian 2.000
m dpl. Tanaman ini menyukai lahan subur dan dapat tumbuh baik pada bebagai
jenis tanah, seperti tanah berpasir hingga tanah liat yang padat, dan bahkan
tetap tumbuh pada tanah miskin hara atau tanah pinggiran. Sedangkan pH yang
cocok untuk tanaman ini adalah 4-8. (Grubben dan Partohardjono, 1996).
Kandungan gizi tanaman
jewawut (setaria italica) yaitu karbohidrat 84,2%, protein 10,7%,
lemak 3,3%, serat 1,4%, Ca 37 mg, Fe 6,2 mg, vitamin C 2,5, vitamin B1 0,48,
dan vitamin B2 0,14 (Widyaningsih
dan Mutholib, 1999).
2.2.2.
Sorghum (Sorghum
bicolor L.)
Tanaman sorghum (Sorghum
bicolor L.) adalah tanaman sejenis
biji-bijian atau serealia yang berasal
dari negara Afrika. Tanaman ini sudah lama
dikenal manuasia sebagai penghasil pangan dan dibudidayakan di daerah kering
seperti di Afrika. Dari benua Afrika kemudian menyebar luas ke daerah tropis dan
subtropis. Tanaman ini memiliki adaptasi yang luas, toleran terhadap kekeringan
sehingga sorghum
menyebar di seluruh dunia. Negara penghasil utama sorghum adalah Amerika, Argentina, China, India, Nigeria, dan beberapa negara Afrika Timur, Yaman dan
Australia. Untuk Indonesia sendiri, tanaman sorghum juga menyebar dengan cepat sebab
iklimnya yang sangat cocok untuk pembudidayaannya (Anonim,
2010).
Buah sorghum merupakan biji-biji yang tertutup oleh kulit yang liat dan
berwarna kekuning-kuningan atau kecoklat-cokelatan. Warna bijinya bervariasi
yaitu cokelat muda, putih dan putih buram. Bentuknya juga bermacam-macam, ada yang agak bulat, ada juga yang
agak pipih. Berat bijinya adalah 0,45 kg. Biji sorghum sifatnya ada yang keras dan ada yang lunak dengan endosperm berwarna
putih. Akar sorghum adalah akar serabut, akar lateral yang halus letaknya
agak ke dalam dengan ruang lingkup akar sedalam 1,35-1,8 m, panjang 10,8 m,
akar tunjangannya cukup banyak dan keluar dari hampir setiap buku-buku atau
ruas-ruas.
Fungsinya dapat berubah menjadi akar lateral bila ditimbun dengan tanah. Batang atau cabang sorghum beruas-ruas dan berbuku-buku,
tidak bercabang, dapat beranak banyak (memiliki anakan atau tunas di sekitar batang
atau cabang) tetapi
ada juga yang tidak. Tingginya 1,0-2,5 mm tergantug dari varietasnya. Daun
keluar pada setiap buku dan berhadapan dengan aluran. Daunnya tumbuh melekat pada buku-buku atau
ruas-ruas,
batangnya tumbuh memanjang. Malai muncul atau tumbuh pada pucuk batang,
bertangkai panjang tegak lurus, ada pula yang melengkung. Pada setiap
buku atau ruas mengeluarkan daun yang berhadapan dengan aluran, daunnya tumbuh
melekat pada buku atau ruas batang dan tumbuh memanjang, serta memiliki
bagian-bagian daun seperti kelopak daun, lidah daun, helaian daun, dan bentuk
daun yang berlapis lilin yang agak tebal dan berwarna putih yang berperan untuk
menahan atau mengurangi penguapan air atau tahan kering. Apabila ada cekaman
air, daun akan menguning atau menggulung. Tanaman sorghum termasuk tanaman monokotil atau
tanaman dengan biji berkeping satu sehingga tipe perkecambahan pada tanaman
sorghum adalah hipogeal, yaitu pertumbuhan memanjang dari
epikotil yang meyebabkan plumula keluar menembus kulit biji dan muncul di atas
tanah. Kotiledon relatif tetap posisinya. Tanaman sorghum tergolong tanaman menyerbuk
sendiri secara alami (Soeranto, 2010).
Adapun varietas atau
spesies dari tanaman sorghum antara
lain varietas Korakola, ICSV 93073, ICSV 111, UPCA S1, dan
varietas Lokal. Hasil penelitian dari balai penelitian tanaman pangan
menunjukkan bahwa beberapa varietas sorghum biji yang berpotensi tinggi antara
lain varietas Malang No. 26 yang berasal dari daerah Lumajang (Jawa Timur),
memiliki umur 110-120 hari, memiliki banyak anakan, memiliki rasa yang cukup
enak dan biji berwarna cokelat muda. Varietas Birdproff No. 65 merupakan
varietas sorghum yang berasal dari Afrika Selatan, berumur 105-115 hari,
pertumbuhan yang kuat, habitus tanaman mencapai 1,85 m, tidak memiliki anakan
atau tunas, memiliki malai buah dengan tipe agak tertutup, dan rasa agak pahit
yang dipengaruhi oleh zat atau senyawa tanin. Varietas Proteria No. 184 yang
merupakan sorghum dari Afrika Selatan, berumur 100-105 hari, memiliki
pertumbuhan yang kuat, tidak memiliki anakan, tinggi tanaman mencapai 1,4 m,
malai buah berbentuk memanjang dan tertutup, berbiji cokelat muda, dan rasa
cukup enak. Varietas Katengu No. 183 merupakan sorghum yang berasal dari Afrika
Selatan, berumur 105-115 hari, pertumbuhan yang kuat, tidak memiliki anakan,
tinggi tanaman mencapai 1,5 m, malai buah agak terbuka, berbiji putih, dan rasa
sangat enak atau pulen. Sedangkan sorghum varietas Cempaka (Ekwangit) berasal
dari Kenya dan Nairobi (Afrika), berumur 100-110 hari, pertumbuhan yang kuat,
tinggi tanaman sekitar 2,0-2,5 m, malai buah agak tegak, biji berwarna putih,
dan rasanya kurang enak atau pahit (Jakes Sito, 2010).
Tanaman sorghum
ditanam pada awal musim hujan, penentuan waktu tanam yang tepat agar
memperhitungkan masa masaknya biji jatuh pada musim kemarau. Hal ini bertujuan
untuk menghindari kerusakan pada saat pembungaan dan menghindari serangan
cendawan atau jamur. Pengolahan tanah bertujuan untuk menggemburkan tanah, meningkatkan
aerasi dan memberantaas gulma. Pengolahan tanah dapat dilakukan dengan memakai
cangkul, membajak dengan ternak, traktor atau tanpa olah tanah. Penanaman yang
harus dilakukan pada sorghum terdiri dari dua sistem pertanaman, antara lain
dengan cara monokultur, diperlukan benih sekitar 10-15 kg/ha, dengan jarak
tanam untuk monokultur yaitu 75 x 40 cm: 4 tanaman per lubang dengan 75 x 20
cm: 2 tanaman per lubang. Untuk sistem pertanaman dengan cara tumpangsari,
diperlukan benih sekitar 10-15 kg/ha, dengan jarak tanam untuk tumpangsari
yaitu stripcropping (1 baris): 200 x 25 cm dan stripcropping (> 2 baris): 75
x 25 x 400 cm. Benih ditanam dengan cara tugal sedalam 4-5 cm (5-12 biji per lubang).
Pemupukan dilakukan dengan menggunakan Urea, TSP atau SP36, dan KCl. Pemupukan
ditugal di samping kiri dan kanan tanaman dengan jarak 7 cm. Pemupukan
dilakukan dua tahap, yaitu 1/3 bagian takaran urea ditambah seluruh TSP dan KCl
diberikan pada umur 7-10 hari dan 2/3 bagian urea diberikan pada umur tanaman
21 hari. Tanaman sorghum sangat rentan terhadap serangan hama dan penyakit.
Untuk itu, diperlukan pengendalian hama dan penyakit yang intensif dan
mengurangi penggunaan pupuk yang bersifat kimia. Tanaman sorghum lebih banyak
permasalahan hama dibanding penyakitnya. Hama dan penyakit yang menyerang
tanaman sorghum antara lain lalat bibit (Atherigona soceata), ulat penggerek
batang (Basiola fusca), ulat penggerek malai (Crytoblabes gnidiella), hama
burung, hama Calandra dan Sytophilus. Pada saat tiba waktu panen, dilakukan setelah
biji masak optimal yang ditandai dengan daun menguning, biji pecah apabila
digigit. Sorghum dipanen dengan cara memangkas 10-15 cm di bawah malai. Setelah
panen dikeringkan agar mudah dalam perontokannya. Perontokan dilakukan dengan
cara memukul secara terus menerus sampai biji keluar dari malainya. Dapat
digunakan mesin perontok khusus sorghum. Kadar air saat perontokan tidak boleh
lebih dari 15% atau kadar yang lebih (Jakes Sito, 2010).
Sorghum
dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan pakan ternak, memiliki kandungan nutrisi
yang baik bahkan kandungan proteinnya lebih tinggi daripada beras. Kandungan
tersebut adalah kalori (332 cal), protein (11,0 g), lemak (3,3 g), karbohidrat
(73,0 g), kalsium (28,0 mg), besi (4,4 mg), posfor (287 mg) dan vit B1 (0,38
mg). (Laimehewira Jantje, 1997).
2.2.3. Gandum
(Triticum spp.)
Tanaman gandum
(Triticum spp.) adalah sekelompok tanaman
serealia
dari suku
padi-padian yang kaya akan karbohidrat dan sumber energi.
Gandum biasanya digunakan untuk memproduksi tepung
terigu, pakan
ternak, ataupun difermentasi
untuk menghasilkan alkohol
atau etanol. Masyarakat prasejarah sudah mengenal sifat-sifat gandum dan
tanaman biji-bijian lainnya sebagai sumber makanan. Berdasarkan penggalian
arkeolog, diperkirakan tanaman gandum
berasal dari daerah sekitar Laut
Merah dan Laut
Mediterania, yaitu daerah sekitar Turki,
Siria,
Irak,
dan Iran (Timur Tengah). Sejarah China menunjukkan bahwa
budidaya gandum telah ada sejak 2.700
SM (Anonim,
2010).
Gandum merupakan makanan pokok manusia,
pakan ternak dan bahan industri yang mempergunakan karbohidrat sebagai bahan
baku. Gandum dapat diklasifikasikan berdasarkan tekstur biji gandum (kernel),
warna kulit biji (bran), dan musim tanam. Berdasarkan tekstur kernel,
gandum diklasifikasikan menjadi hard, soft, dan durum.
Sementara itu,
berdasarkan warna bran, gandum diklasifikasikan menjadi red
(merah) dan white (putih). Untuk musim tanam, gandum dibagi menjadi winter
(musim dingin)
dan spring (musim
semi).
Secara umum,
gandum diklasifikasikan menjadi hard wheat, soft wheat dan durum
wheat. Varietas atau spesies dari tanaman gandum secara
umum antara lain Triticum
aestivum
(hard wheat), adalah spesies gandum
yang paling banyak ditanam di dunia dan banyak digunakan sebagai bahan baku
pembuatan roti
karena mempunyai kadar protein yang tinggi. Gandum ini mempunyai ciri-ciri
kulit luar berwarna coklat, bijinya keras, dan berdaya serap air tinggi. Setiap
bulir terdiri dari dua sampai lima butir gabah. Varietas sorghum Triticum compactum (soft wheat) merupakan
spesies yang berbeda dan hanya sedikit ditanam. Setiap bulirnya terdiri dari
tiga sampai lima buah, berwarna putih sampai merah, bijinya lunak, berdaya
serap air rendah dan berkadar protein rendah. Jenis gandum ini biasanya
digunakan untuk membuat biskuit
dan kadang-kadang membuat roti.
Dan varietas
yang lainnya yaitu Triticum durum (durum wheat) yang merupakan
jenis gandum yang khusus. Ciri dari gandum ini ialah bagian dalam (endosperma)
yang berwarna kuning, bukan putih, seperti jenis gandum pada umumnya dan
memiliki biji yang lebih keras, serta memiliki kulit yang berwarna coklat.
Gandum jenis ini dapat
dimanfaatkan atau digunakan untuk membuat
produk-produk pasta,
seperti makaroni,
spageti,
dan produk-produk
pasta yang lainnya (Anonim, 2010).
Tanaman
gandum termasuk tanaman monokotil atau tanaman dengan biji berkeping satu
sehingga tipe perkecambahan pada tanaman gandum adalah hipogeal, yaitu pertumbuhan memanjang dari
epikotil yang meyebabkan plumula keluar menembus kulit biji dan muncul di atas
tanah. Kotiledon relatif tetap posisinya. Tanaman gandum tergolong tanaman
menyerbuk sendiri secara alami karena letak bunga jantan (benang sari) dan bunga betina (putik) tidak terpisah dan tetap dalam satu tempat. Karena
tanaman gandum menyerbuk sendiri sehingga
penyerbukannya juga dilakukan dengan bantuan angin atau biasa disebut dengan anemogami.
Lingkungan atau syarat tumbuh tanaman gandum antara lain ketinggian tempat penanaman sekitar 400-800 meter dari permukaan laut. Tanaman gandum dapat tumbuh baik dan berproduksi tinggi pada kisaran suhu 10-25 derajat Celcius, fotoperiodisme yang panjang, bercurah hujan 350-1.250 mm dengan kondisi kering pada masa pemasakan biji, sedang saat pembentukan bunga yang fertil dibutuhkan suhu rendah. Gandum umumnya ditanam pada curah hujan makin menipis selama sekitar sebulan. Selama sebulan, benih itu memperoleh perlakuan khusus dengan siraman air (gembor) sehari semalam penuh, dibiarkan dua hari, dan di hari keempat disiram lagi sehari semalam. Bulan berikutnya mulai perawatan dengan pupuk kimiawi, menyusul pupuk kandang yang sudah ditaburkan pada bedeng sampai umur dua bulan.
Udara yang kering bersuhu rendah akan membuat biji gandum masak
secara sempurna. Gandum potensial untuk dibudidayakan dan dikembangkan, khususnya pada daerah-daerah pinggiran yang kering (Ilmi Irfan, 2010).
Lingkungan atau syarat tumbuh tanaman gandum antara lain ketinggian tempat penanaman sekitar 400-800 meter dari permukaan laut. Tanaman gandum dapat tumbuh baik dan berproduksi tinggi pada kisaran suhu 10-25 derajat Celcius, fotoperiodisme yang panjang, bercurah hujan 350-1.250 mm dengan kondisi kering pada masa pemasakan biji, sedang saat pembentukan bunga yang fertil dibutuhkan suhu rendah. Gandum umumnya ditanam pada curah hujan makin menipis selama sekitar sebulan. Selama sebulan, benih itu memperoleh perlakuan khusus dengan siraman air (gembor) sehari semalam penuh, dibiarkan dua hari, dan di hari keempat disiram lagi sehari semalam. Bulan berikutnya mulai perawatan dengan pupuk kimiawi, menyusul pupuk kandang yang sudah ditaburkan pada bedeng sampai umur dua bulan.
Udara yang kering bersuhu rendah akan membuat biji gandum masak
secara sempurna. Gandum potensial untuk dibudidayakan dan dikembangkan, khususnya pada daerah-daerah pinggiran yang kering (Ilmi Irfan, 2010).
Di Indonesia, tanaman gandum hanya
terbatas ditanam di daerah dataran
tinggi maupun pegunungan serta pada areal yang tidak
begitu luas. Di daerah iklim sedang, gandum ditanam pada musim dingin (winter)
dan musim semi (spring). Gandum yang ditanam di Indonesia adalah dari jenis
gandum musim semi yang diintroduksi dari Negara
Jepang,
Filipina dan Meksiko
Gandum adalah bahan pangan paling penting di dunia, dan lebih banyak dibudidayakan pada taraf global daripada tanaman pangan lainnya. Karena itu, telah dilakukan penelitian yang intensif mengenai regenerasi tanaman gandum pada kultur in vitro yang berguna dalam pengembangan tanaman pangan. Dalam penelitian tersebut disimpulkan bahwa genotip dan media memiliki pengaruh yang signifikan pada kemampuan regenerasi dari kultivar T.aestivum dan T.durum. Embrio dewasa bagus digunakan sebagai eksplan dalam kultur jaringan gandum. Hal ini pernah dilakukan oleh Ozgen et al., (1996) saat melakukan suatu penelitian dan pengamatan, yaitu telah mempelajari embrio dewasa dan belum dewasa dari tujuh genotip gandum durum musim dingin yang dikulturkan pada media MS (Murashige dan Skoog) yang diperkaya dengan 2,4-D. Dari penelitian yang dilakukan, ditemukan bahwa embrio dewasa memiliki frekuensi rendah untuk pembentukan kallus tetapi mempunyai kapasitas regenerasi yang tinggi dibandingkan dengan embrio yang belum dewasa. Gandum dibagi menjadi tiga kelompok yang berbeda, seperti diploid, tetraploid, dan heksaploid dengan 14, 28 dan 42 kromosom (Irwan, 2007).
Gandum adalah bahan pangan paling penting di dunia, dan lebih banyak dibudidayakan pada taraf global daripada tanaman pangan lainnya. Karena itu, telah dilakukan penelitian yang intensif mengenai regenerasi tanaman gandum pada kultur in vitro yang berguna dalam pengembangan tanaman pangan. Dalam penelitian tersebut disimpulkan bahwa genotip dan media memiliki pengaruh yang signifikan pada kemampuan regenerasi dari kultivar T.aestivum dan T.durum. Embrio dewasa bagus digunakan sebagai eksplan dalam kultur jaringan gandum. Hal ini pernah dilakukan oleh Ozgen et al., (1996) saat melakukan suatu penelitian dan pengamatan, yaitu telah mempelajari embrio dewasa dan belum dewasa dari tujuh genotip gandum durum musim dingin yang dikulturkan pada media MS (Murashige dan Skoog) yang diperkaya dengan 2,4-D. Dari penelitian yang dilakukan, ditemukan bahwa embrio dewasa memiliki frekuensi rendah untuk pembentukan kallus tetapi mempunyai kapasitas regenerasi yang tinggi dibandingkan dengan embrio yang belum dewasa. Gandum dibagi menjadi tiga kelompok yang berbeda, seperti diploid, tetraploid, dan heksaploid dengan 14, 28 dan 42 kromosom (Irwan, 2007).
Tanaman gandum
memiliki morfologi biji. Pada umumnya, kernel berbentuk ofal dengan
panjang 6–8 mm dan diameter 2–3 mm. Seperti jenis serealia atau tanaman
biji-bijian yang lainnya, gandum memiliki tekstur yang sangat keras. Biji
gandum terdiri dari tiga bagian yaitu bagian kulit (bran), bagian
endosperma, dan bagian lembaga (germ). Bagian kulit dari biji gandum
sebenarnya tidak mudah dipisahkan karena merupakan satu kesatuan dari biji
gandum tetapi bagian kulit ini biasanya dapat dipisahkan melalui proses
penggilingan, misalnya pada pembuatan tepung terigu (Nurmala, 1980).
Morfologi biji
tanaman gandum secara umum terdiri dari Bran atau kulit, merupakan kulit
luar gandum dan terdapat sebanyak 14,5% dari total keseluruhan gandum. Bran
terdiri dari 5 lapisan yaitu epidermis (3,9%), epikarp (0,9%), endokarp (0,9%),
testa (0,6%), dan aleuron (9%). Bran memiliki granulasi lebih besar
dibanding pollard, serta memiliki kandungan protein dan kadar
serat tinggi
sehingga baik dikonsumsi ternak besar. Epidermis merupakan bagian terluar biji
gandum, mengandung banyak debu yang apabila terkena air akan menjadi liat dan
tidak mudah pecah. Fenomena inilah yang dimanfaatkan pada penggilingan gandum
menjadi tepung terigu agar lapisan epidermis yang terdapat pada biji gandum
tidak hancur dan mengotori tepung terigu yang dihasilkan. Kebanyakan protein
yang terkandung dalam bran adalah protein larut (albumin dan globulin). Endosperma merupakan
bagian yang terbesar dari biji gandum (80-83%) yang banyak mengandung protein, pati, dan air. Pada proses
penggilingan, bagian inilah yang akan diambil sebanyak-banyaknya untuk diubah
menjadi tepung terigu dengan tingkat kehalusan tertentu. Pada bagian ini juga
terdapat zat abu yang kandungannya akan semakin kecil jika mendekati inti dan
akan semakin besar jika mendekati kulit. Sedangkan Germ atau lembaga terdapat
pada biji gandum sebesar 2,5-3%. Lembaga merupakan cadangan makanan yang
mengandung banyak lemak
dan terdapat bagian yang selnya masih hidup bahkan setelah pemanenan. Di
sekeliling bagian yang masih hidup terdapat sedikit molekul glukosa, mineral, protein, dan enzim. Pada kondisi
yang baik, akan terjadi perkecambahan yaitu biji gandum akan tumbuh menjadi
tanaman gandum yang baru. Perkecambahan merupakan salah satu hal yang harus
dihindari pada tahap penyimpanan biji gandum. Perkecambahan ini dipengaruhi
oleh beberapa faktor, terutama faktor yang mempengaruhi yaitu faktor eksternal
di antaranya kondisi kelembaban yang sangat tinggi, suhu yang relatif hangat
maupun kandungan oksigen (O2) yang sangat melimpah (Nurmala, 1980).
Tanaman gandum memiliki manfaat yang sangat
berperan penting dalam pembuatan industri makanan, salah satunya adalah dapat
dibuat tepung terigu. Tepung terigu adalah tepung atau bubuk
halus yang berasal dari bulir gandum, dan digunakan sebagai bahan dasar pembuat
kue, mi dan roti. Kata terigu dalam
bahasa
Indonesia diserap dari bahasa
Portugis, trigo, yang berarti "gandum". Tepung terigu
mengandung banyak zat pati, yaitu karbohidrat
kompleks yang tidak larut dalam air. Tepung terigu juga mengandung protein dalam
bentuk gluten,
yang berperan dalam menentukan kekenyalan makanan yang terbuat dari bahan
terigu. Tepung terigu juga berasal dari gandum, bedanya terigu berasal dari
biji gandum yang dihaluskan, sedangkan tepung gandum utuh (whole wheat flour)
berasal dari gandum beserta kulit arinya. Tepung terigu terdiri atas tiga
macam, antara lain tepung terigu berprotein tinggi (bread flour), adalah
tepung yang mengandung kadar protein tinggi antara 11%-13% yang digunakan
sebagai bahan pembuat roti, mie, pasta, dan roti donat. Jenis tepung terigu
berprotein sedang atau serbaguna (all purpose flour), adalah tepung yang
mengandung kadar protein sedang sekitar 8%-10% yang digunakan sebagai bahan
pembuat kue cake atau kue tart. Sedangkan jenis tepung terigu yang lain
yaitu tepung terigu berprotein rendah (pastry flour), adalah tepung yang
mengandung protein sekitar 6%-8% dan umumnya digunakan untuk membuat kue yang
renyah, seperti biskuit, kulit gorengan ataupun keripik (Muchtadi dan Sugiyono,
1992).
Kandungan gizi dari gandum antara lain Pastry
flour, for example, is sometimes made from soft white winter wheat.mengandung sekitar 12,6 gram protein, 1,5 gram total lemak, 71 gram karbohidrat (adanya perbedaan), 12.2 gram makanan serat, dan 3,2 mg besi (17% dari harian persyaratan), gandum merah keras mengandung sekitar 15,4
gram protein, 1,9 gram total lemak, 68 gram karbohidrat (adanya perbedaan), 12.2 gram makanan serat, dan 3,6 mg besi (20% dari harian
kebutuhan).Much of the carbohydrate fraction of
wheat is . Sebagian besar fraksi karbohidrat gandum pati. Wheat starch is an important commercial
product of wheat, but second in economic value to . The
principal parts of wheat flour are gluten and starch.Pati gandum adalah produk komersial yang
penting dari gandum, tetapi dalam nilai ekonomi bagi gluten gandum. Bagian-bagian utama dari tepung gandum adalah gluten dan pati.These
can be separated in a kind of home experiment, by mixing flour and water to
form a small ball of dough, and kneading it gently while rinsing it in a bowl
of water. Ini dapat dipisahkan dalam jenis percobaan di rumah, seperti pada pencampuran tepung dan air untuk membentuk bola kecil
adonan atau membuat kue, kemudian meremas lembut sambil membilasnya dalam semangkuk air. The
starch falls out of the dough and sinks to the bottom of the bowl, leaving
behind a ball of gluten.Pati jatuh keluar dari adonan dan tenggelam ke dasar mangkuk,
meninggalkan bola gluten (Zufrizal,
2003).
2.2.4
Wijen (Sesamum indicum L.)
Wijen (Sesamum
indicum L. syn. Sesamum orientalis L.) adalah tanaman pangan berupa semak
semusim yang termasuk dalam famili Pedaliaceae. Tanaman ini
dibudidayakan sebagai sumber minyak
nabati yang dikenal sebagai minyak
wijen, yang diperoleh dari ekstraksi bijinya. Afrika tropik diduga
merupakan daerah asalnya yang kemudian tersebar ke wilayah Timur hingga ke India dan Tiongkok. Di
Afrika Barat, ditemukan pula kerabatnya, S. ratiatum Schumach. dan S.
alabum Thom., yang di sana dimanfaatkan daunnya sebagai lalapan atau sayuran.
S. ratiatum juga mengandung minyak, tetapi mengandung rasa pahit karena
tercampur dengan saponin yang juga bersifat racun. Saat
ini, wijen ditanam terutama di India, Tiongkok, Mesir, Turki, Sudan, Meksiko dan Venezuela (Anonim, 2010).
Tanaman wijen memiliki akar tanaman yang bertipe
akar tunggang dengan banyak
akar cabang yang sering bersimbiosis dengan mikoriza VA
(vesikular-arbuskular). Tanaman mendapat keuntungan dari simbiosis ini dalam
memperoleh air dan hara dari tanah. Penampilan morfologinya mudah dipengaruhi oleh
lingkungan. Tinggi tanaman bervariasi dari 60 hingga 120 cm, bahkan dapat
mencapai 2-3m. Batangnya
berkayu dan memiliki ruas-ruas atau buku-buku pada tanaman yang telah dewasa. Daun tunggal, berbentuk
lidah memanjang dan berhadapan. Bunga tumbuh dari ketiak daun, biasanya tiga namun hanya satu
yang biasanya berkembang dengan baik. Bunga sempurna, kelopak bunga berwarna
putih, kuning, merah muda, atau biru violet, tergantung varietas. Dari bunga
tumbuh 4-5 kepala sari. Bakal buah
terbagi dua ruang, yang lalu terbagi lagi menjadi dua kemudian membentuk
polong. Biji terbentuk di dalam ruang-ruang tersebut. Apabila buah masak dan
mengering, biji mudah terlepas ke luar, yang menyebabkan penurunan hasil.
Melalui pemuliaan, sifat ini telah diperbaiki, sehingga
buah tidak mudah pecah ketika mengering. Banyaknya polong per tanaman, sebagai
faktor penentu hasil yang penting berkisar dari 40 hingga 400 per tanaman.
Bijinya berbentuk seperti buah alpokat (buah wijen berbentuk kapsul), kecil,
berwarna putih, kuning, coklat, merah muda, atau hitam. Bobot atau berat biji
berkisar antara 1.000 biji 2-6 gram. Tanaman wijen memerlukan suhu yang cukup
tinggi untuk tumbuh (asalnya dari daerah tropik). Tanaman ini cukup tahan
terhadap kondisi kering, meskipun hasilnya akan turun jika kurang mendapatkan
pengairan. Di Indonesia, tanaman wijen tidak terlalu luas ditanam. Di daerah Gunung Kidul,
Yogyakarta,
terdapat area penanaman wijen yang tidak terlalu luas (Schuster, 1992).
Tipe perkecambahan pada tanaman wijen adalah
hypogeal, adalah pertumbuhan memanjang dari epikotil yang meyebabkan plumula
keluar menembus kulit biji dan muncul di atas tanah. Kotiledon relatif tetap berada
pada posisinya. Tanaman wijen tergolong tanaman yang menyerbuk sendiri sehingga
bunganya bersifat hermafrodit, yakni kepala putik diserbuki oleh tepung sari
dari bunga yang sama. Tetapi, dapat juga terjadi penyerbukan silang oleh
serangga, dan tidak pernah terjadi penyerbukan oleh angin. Lingkungan tumbuh
atau syarat tumbuh tanaman wijen memerlukan suhu yang cukup tinggi untuk
tumbuh. Tanaman ini cukup tahan terhadap kondisi kering, meskipun hasilnya akan
turun jika kurang mendapat pengairan. Untuk lahan kering dimusim hujan yaitu
wilayah yang bercurah hujan pendek, wijen ditanam pada awal musim penghujan
agar tanaman tidak mengalami hambatan suhu tanah, ketersediaan air, dan jasad
pengganggu (Weiss, 1971).
Varietas tanaman wijen terbagi ke dalam dua
kelompok besar, yaitu varietas bercabang dan varietas tidak bercabang. Pada
tahun 1997 telah dilepas 2 (dua) varietas unggul wijen oleh Balai Penelitian
Tembakau dan Tanaman Serat (Balittas), yaitu var Sumberejo 1 (Sbr1)
produktivitas 1-1,6 ton/ha dan habitus bercabang banyak dan Sumberejo 2 (Sbr2)
dengan produktivitas 0,8-1,4 ton/hektar dan habitus tidak bercabang. (Dela SY,
2010).
Wijen sudah sejak lama ditanam
manusia untuk dimanfaatkan bijinya, bahkan termasuk tanaman minyak yang paling tua
dikenal dalam peradaban. Kegunaan utama dari tanaman wijen adalah sebagai
sumber minyak wijen. Bijinya yang berwarna putih digunakan sebagai penghias
pada penganan, misalnya onde-onde dan kue kering dengan cara menaburkannya di
permukaan penganan tersebut. Biji wijen dapat dibuat sebagai pasta, misalnya
makanan yang dapat diolah menjadi pasta berupa butiran wijen yang ditabur ke
spageti maupun macaroni (Schuster, 1992).
Kandungan gizi yang terdapat pada biji wijen
mengandung 50-53% minyak nabati, 20% protein, 7-8% serat kasar, 15%
residu bebas nitrogen, dan 4,5-6,5% abu. Minyak biji wijen kaya akan asam lemak tak jenuh,
khususnya asam
oleat (C18:1) dan asam linoleat (C18:2,
Omega-6), 8-10% asam lemak jenuh, dan sama sekali tidak mengandung
asam
linolenat. Minyak biji wijen juga kaya akan Vitamin E. Ampas biji wijen
(setelah diekstrak minyaknya) menjadi sumber protein dalam pakan ternak
(Schuster, 1992).
2.3
Sistem Olah Tanah
Sistem olah tanah yang dapat dimanfaatkan untuk
menanam tanaman jewawut, sorghum, gandum, dan wijen terdiri atas tiga metode
atau cara, yaitu sistem olah tanah konvensional (yang menggunakan guludan/
bedengan), sistem olah tanah minimum (pada tanah yang subur atau gembur) dan
sistem tanpa olah tanah.
2.3.1
Sistem Olah Tanah Konvensional (Guludan atau Bedengan)
Prinsip dari sistem olah tanah konvensional (guludan atau
bedengan) adalah mengolah tanah secara keseluruhan, yaitu dengan cara manual dan
menggunakan cangkul atau linggis kemudian membongkar dan membalik tanah lalu
diratakan. Tanah yang akan ditanami tanaman harus dibersihkan dari tanaman
pengganggu seperti gulma. Tanah yang telah bersih kemudian dibentuk guludan
atau semacam bedengan dengan saluran drainasenya agar dapat membuang kelebihan
air pada musim-musim hujan. Guludan adalah tumpukan tanah yang dibuat memanjang menurut
arah garis kontur atau memotong lereng. Tinggi tumpukan tanah sekitar 25–30 cm
dengan lebar dasar sekitar 30–40 cm. Jarak antara guludan tergantung pada
kecuraman lereng, kepekaan erosi tanah, dan erosivitas hujan. Guludan dapat diperkuat dengan menanam
rumput atau tanaman perdu (Chairani,
2010).
Keuntungan
dari olah tanah konvensional adalah pertumbuhan tanaman akan subur sebab aliran
aerase atau pertuara udara dalam tanah menjadi lancar, pori-pori tanah juga
semakin banyak menyerap air dan unsur hara yang diperlukan tanaman. Namun, ada
juga kerugian dari pengolahan tanah konvensional yaitu membutuhkan tenaga kerja
yang lebih banyak dan penggunaan waktu juga kurang efisien sebab selain
membutuhkan tenaga kerja yang lebih banyak juga membutuhkan waktu yang agak
lama dibandingkan dengan olah tanah yang lain sebab dalam olah tanah ini, semua
permukaan tanah diolah tanpa terkecuali bahkan tanah yang tidak ditanami
(Chairani, 2010).
2.3.2 Sistem
Olah Tanah Minimum (Pada Tanah Subur atau Gembur)
Pengolahan tanah minimum hanya dapat
dilakukan pada tanah yang gembur. Tanah gembur dapat terbentuk sebagai hasil
dari penggunaan mulsa secara terus menerus dan atau pemberian pupuk (baik pupuk hijau, pupuk kandang, atau kompos) dari bahan organik yang lain secara
terus menerus. Penerapan teknik pengolahan tanah minimum perlu disertai dengan pemberian mulsa. Keuntungan olah tanah
minimum adalah
menghindari kerusakan struktur tanah, mengurangi aliran permukaan dan erosi,
memperlambat proses mineralisasi, mengefisienkan tenaga kerja daripada
pengelolaan penuh, dan dapat diterapkan pada lahan-lahan marginal yang jika tidak
dengan cara ini mungkin tidak dapat diolah. Kerugian dari olah tanah minimum
adalah persiapan
bedengan yang kurang memadai dapat menyebabkan pertumbuhan yang kurang baik dan
produksi yang rendah, lebih cocok untuk tanah yang gembur, pemberian mulsa
perlu dilakukan secara terus menerus, herbisida diperlukan apabila pengendalian
tanaman pengganggu tidak dilakukan secara manual atau dilakukan secara mekanis (Chairani,2010).
2.3.3
Sistem Tanpa Olah Tanah
Untuk sistem tanpa olah tanah, juga bisa diterapkan pada tanah-tanah yang
subur atau gembur. Sistem tanpa olah tanah
merupakan bagian dari konsep olah tanah konservasi yang mengacu kepada suatu
sistem olah tanah yang melibatkan pengolahan mulsa tanaman ataupun gulma (tanaman pengganggu).
Budidaya pertanian tanpa olah tanah sebetulnya berangkat dari corak pertanian
tradisional yang dimodifikasikan, dengan memasukkan unsur kimiawi untuk
mengendalikan gulma, dalam hal ini herbisida. Persiapan lahan cukup dilakukan
dengan penyemprotan, gulma mulai mati dan mengering, lalu direbahkan selanjutnya dibenamkan
dalam lumpur (Nursyamsi, 2004).
Persiapan
lahan pada sistem TOT (tanpa olah
tanah) dapat dilakukan dengan menggunakan herbisida. Glyfosat merupakan
salah satu herbisida yang banyak digunakan untuk mempersiapkan lahan TOT.
Aplikasi herbisida pada lahan TOT seringkali menimbulkan adanya pergeseran
gulma yang tumbuh berikutnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi
gulma yang tumbuh pada saat persiapan lahan serta untuk membandingkan pengaruh
saat aplikasi dan dosis herbisida glyfosat terhadap pergeseran gulma (Nurjanah, 2011).
BAB III
METODE PRAKTIKUM
3.1 Waktu dan
Tempat
Praktikum
Budidaya Tanaman Semusim ini dilaksanakan pada bulan
September-Desember 2011
di lahan percobaan Jurusan
Budidaya Pertanian,
Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin, Makassar.
3.2 Alat dan Bahan
Adapun alat-alat yang digunakan pada praktikum
Budidaya Tanaman Semusim adalah cangkul, sekop, ember, mistar atau meteran, patok, kamera digital, papan nama, dan alat tulis-menulis. Sedangkan bahan-bahan
yang digunakan adalah tali rapia, air, furadan, pupuk kandang dan benih tanaman jewawut (Setaria italica).
3.3 Metode Percobaan
Adapun metode dalam praktikum ini adalah sebagai berikut:
1.
Bersihkan lahan
yang akan ditempati untuk membudidayakan tanaman.
2.
Setelah lahan dibersihkan dari gulma, lahan tersebut dicangkul dan diolah
tanahnya. Setiap kelompok memasang patok-patok setelah tanah diolah.
3.
Masing-masing kelompok membudidayakan 1 komoditi. Komoditi yang ditanam pada
kelompok ini adalah tanaman jewawut. Dimana lahan yang sudah disiapkan per kelompok tersebut dibagi lagi menjadi 2 bagian masing-masing dengan ukuran tertentu, ada yang
menggunakan sistem tanpa olah tanah (pada tanah yang subur atau gembur) dan ada pula yang menggunakan sistem olah tanah (guludan
atau bedengan).
4.
Lakukanlah pengamatan
setiap minggu, amati tiap perkembangan yang terjadi pada tanaman tersebut. Catat dan ukur tinggi
tanaman dengan mistar, jumlah daun, serta ambil gambar komoditi yang ditanam pada tiap
minggunya.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Hasil
a. Tanaman Jewawut
DATA
PENGUKURAN JEWAWUT KELOMPOK 2
Data Pengamatan Jewawut Olah Tanah Guludan
|
Data Pengamatan Jewawut Tanpa Olah Tanah
|
||||||||||
Pengamatan 1
|
Pengamatan 2
|
Pengamatan 3
|
Pengamatan 1
|
Pengamatan 2
|
Pengamatan 3
|
||||||
T.tnmn
|
J.daun
|
T.tnmn
|
J.daun
|
T.tnmn
|
J.daun
|
T.tnmn
|
J.daun
|
T.tnmn
|
J.daun
|
T.tnmn
|
J.daun
|
2,4 cm
|
3 helai
|
20,1 cm
|
5 helai
|
44 cm
|
4 helai
|
6 cm
|
2 helai
|
13,8 cm
|
3 helai
|
40 cm
|
4 helai
|
4 cm
|
3 helai
|
10,1 cm
|
4 helai
|
34 cm
|
5 helai
|
4,1 cm
|
2 helai
|
18,1 cm
|
4 helai
|
35 cm
|
3 helai
|
4,2 cm
|
3 helai
|
23,2 cm
|
3 helai
|
41 cm
|
4 helai
|
3,6 cm
|
2 helai
|
21,5 cm
|
5 helai
|
53 cm
|
5 helai
|
3,7 cm
|
4 helai
|
23,3 cm
|
4 helai
|
36 cm
|
4 helai
|
3,6 cm
|
2 helai
|
13,6 cm
|
4 helai
|
48 cm
|
7 helai
|
4 cm
|
4 helai
|
20,9 cm
|
6 helai
|
47 cm
|
5 helai
|
3,3 cm
|
2 helai
|
17,6 cm
|
4 helai
|
39 cm
|
6 helai
|
6,5 cm
|
4 helai
|
20,8 cm
|
6 helai
|
45 cm
|
3 helai
|
5,7 cm
|
2 helai
|
25,9 cm
|
4 helai
|
45 cm
|
4 helai
|
3,9 cm
|
4 helai
|
16,2 cm
|
4 helai
|
35 cm
|
3 helai
|
2,9 cm
|
2 helai
|
17,3 cm
|
2 helai
|
26 cm
|
4 helai
|
3,7 cm
|
3 helai
|
9,9 cm
|
3 helai
|
53 cm
|
5 helai
|
4 cm
|
3 helai
|
17,6 cm
|
4 helai
|
46 cm
|
3 helai
|
4,3 cm
|
4 helai
|
14,7 cm
|
3 helai
|
37 cm
|
4 helai
|
6,4 cm
|
2 helai
|
17,3 cm
|
4 helai
|
41,2 cm
|
3 helai
|
4 cm
|
3 helai
|
13 cm
|
4 helai
|
35 cm
|
4 helai
|
4,3 cm
|
2 helai
|
17,5 cm
|
4 helai
|
43 cm
|
5 helai
|
5
cm
|
4
helai
|
8,5 cm
|
3 helai
|
35 cm
|
3 helai
|
5 cm
|
2 helai
|
12,7 cm
|
5 helai
|
27,5 cm
|
3 helai
|
3,2
cm
|
4
helai
|
13,8 cm
|
4 helai
|
56 cm
|
5 helai
|
4,9 cm
|
2 helai
|
15,6 cm
|
6 helai
|
55 cm
|
6 helai
|
2 cm
|
4
helai
|
8 cm
|
4 helai
|
49 cm
|
5 helai
|
3 cm
|
2 helai
|
11,4 cm
|
3 helai
|
45 cm
|
4 helai
|
3,3 cm
|
3
helai
|
16,5 cm
|
4 helai
|
31 cm
|
4 helai
|
2 cm
|
2 helai
|
11,6 cm
|
4 helai
|
28,6 cm
|
5 helai
|
4 cm
|
3 helai
|
15,6 cm
|
4 helai
|
39,6 cm
|
5 helai
|
3,9 cm
|
4 helai
|
13,3 cm
|
3 helai
|
34 cm
|
4 helai
|
4 cm
|
3 helai
|
21,4 cm
|
5 helai
|
39 cm
|
4 helai
|
3,8 cm
|
3 helai
|
20,3 cm
|
4 helai
|
22,2 cm
|
4 helai
|
7,7 cm
|
4 helai
|
15,3 cm
|
3 helai
|
31,3 cm
|
3 helai
|
2,2 cm
|
3 helai
|
18,4 cm
|
4 helai
|
57 cm
|
6 helai
|
2,2 cm
|
2 helai
|
12,4 cm
|
3 helai
|
35 cm
|
3 helai
|
5,6 cm
|
3 helai
|
14 cm
|
4 helai
|
53,6 cm
|
6 helai
|
2,2 cm
|
3 helai
|
7,5 cm
|
3 helai
|
-
|
-
|
2,4 cm
|
3 helai
|
20,6 cm
|
5 helai
|
46 cm
|
6 helai
|
3 cm
|
3 helai
|
13,5 cm
|
4 helai
|
15,5 cm
|
3
|
2,6 cm
|
3 helai
|
21 cm
|
5 helai
|
58 cm
|
5 helai
|
thnks infonya..
BalasHapussaya mengucapkan terimakasi mengenai informasi tentang jewawut ini.... karena ini sangat bermanfaat untuk saya... terimakasi tela berbagi.. saya lagi mencari tahu tentang alat yang digunakan untuk mengupasnya...
BalasHapuswaw sangat bermanfaat trimkasih sudah berbagi info pertanian online,
BalasHapuskunjungi balik Cara budidaya porang